Perdamaian Aceh |
Banda Aceh, Edev- Sungguh
ironi, apa yang tengah
terjadi pada negeri Aceh yang kita cintai ini, jika kita kaji lebih dalam
sangat banyak permasalahan-permasalahan Aceh yang belum terselesaikan dan malah
menimbulkan permasalahan baru. Belum lama ini permasalahan yang cukup pelik,
namun sudah sangat akrab di telinga masyarakat Aceh adalah munculnya
pemberontakan baru oleh beberapa mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
yang dipimpin oleh Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi yang
tentu membangkitkan kembali trauma masa konflik masyarakat Aceh saat ini. Kasus
pemberontakan ini tentu sangat mengganggu perdamaian dan keamanan Aceh, dimana seharusnya negeri berjuluk Serambi Mekah yang sudah dinyatakan aman dari pemberontakkan
sejak sepuluh tahun yang lalu dengan ditandai nota kesepakan Mou Helsinki
antara Pemerintah Indonesia dan petinggi GAM pada 15 Agustus tahun 2005 ini, tidak perlu lagi
mengulang kisah kelam nan panjang masa konflik yang merenggut beribu jiwa.
Sebenarnya
bukan tanpa alasan, pasukan Din Minimi ini melakukan pemberontakan terhadap
Pemerintah Aceh. Beberapa pernyataan Din Mini yang ditayangkan lewat berbagai
media, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap Pemerintah Aceh yang saat ini
dinahkodai Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf
(Zikir), diantaranya mereka menuntut hak masyarakat Aceh,
kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, fakir miskin, anak yatim, dan janda
korban konflik serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki yang harus segera
diselesaikan. Tuntutan meraka tersebut dilayangkan demi keadilan masyarakat
Aceh serta untuk kesejahteraan
masyarakat Aceh yang saat ini masih dilanda kemiskinan dan ketimpangan.(Koran
Serambi 26/5/ 2015).
Bukannya
kita mendukung aksi pemberontakan yang dilakukan komplotan Din Minimi tersebut,
namun jika kita rasa bersama tuntutan yang disarangkan oleh komplotan
pemberontak Din Minimi terhadap kepemimpinanan Zikir ini ada benarnya, jika
kita telisik lebih dalam masih banyak hak
masyarakat Aceh, kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, fakir miskin, anak
yatim, dan janda korban konflik, serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki
yang belum terselesaikan pasca 10 tahun perdamaian Aceh.
Perburuan yang dilakukan aparat TNI dan Polri yang saat ini berhasil menewaskan empat
orang anggota komplotan pemberontak tersebut bisa jadi
bukan solusi yang terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut, yang
dikhawatirkan adalah munculnya pemberontak-pemberontak baru dalam skala yang
besar akibat dendam dari oknum-oknum tertentu terutama dari pihak
kerabat-kerabat komplotan yang tewas. Indikasi ini harus menjadi kekhawatiran
Pemerintah Aceh untuk mencari solousi lain dalam mengatasi konflik ini agar
tidak berkepanjangan.
Selain
masalah pemberontakan oleh komplotan Din Minimi, permasalahan yang masih
menjadi musuh utama negeri rencong ini adalah tingkah laku para pejabat kita
yang masih doyan memakan uang rakyat
alias korupsi. Sepanjang tahun
2014 lalu terdapat puluhan kasus korupsi yang menjerat beberapa elit pejabat
daerah yang merugikan uang Negara hingga milyaran rupiah, banyaknya kasus
korupsi itu pun membawa Aceh kepada salah satu Provinsi terkorup yang ada di
Indonesia. Salah satu penyebab utama tingginya prilaku kotor ini adalah
mentalitas yang dimiliki pejabat daerah yang berorentasi pada
memperkaya diri sendiri, kelompok, dan korporasinya menjadi faktor utama
suburnya korupsi di Aceh, apa lagi didukung dengan tingginya jumlah anggaran
yang dikelola pemerintah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan melimpahnya
uang terutama dari dana otonomi khusus dimiliki Aceh.
Prestasi
yang sangat memalukan ini, tentu menimbulkan kesulitan bagi Aceh yang memasuki
10 tahun damai namun masih berada
dalam kondisi masyarakatnya yang
jauh dari sejahtera, ini dibuktikan dari data yang ditunjukkan BPS pada September 2014 lalu, dimana
jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh mencapai 837.000 orang atau sekitar 16,98%.
(Harian Medan Bisnis,08/01/2015),
jumlah ini juga membawa Aceh kepada tiga besar Provinsi dengan tingkat kemiskinan paling besar se Indonesia.
Tingginya tingkat
korupsi dan tingkat kemisikinan Aceh yang beralur positif ini, menandai bahwa korupsi
adalah salah satu biang keladi dari carut-marutnya kondisi ekonomi Aceh hingga
saat ini. Seperti data yang di
laporkan Badan
Pusat Statistik (BPS) untuk triwulan
pertama 2015, ekonomi Aceh hanya mampu tumbuh 1,65%, dan ini menurun -2,38%
dibanding akhir tahun 2014 lalu, angka rendah tersebut membawa ekonomi Aceh
pada rangking terbawah nasional dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Kondisi
ekonomi Aceh yang sangat memprihatinkan ini sangatlah mengancam kesejahteraan
masyarakat Aceh, Ini terlihat dari tingkat pengangguran yang meningkat 0,98% dibandingkan akhir tahun 2014 lalu, dan hingga
saat ini
tingkat pengangguran di Aceh
mencapai 7,73%. Angka pengangguran 7,73 % atau sekitar 175 orang ini
bukanlah nilai akhir, kemungkinan besar jika Pemerintah Aceh tidak cepat
tanggab dalam menghadapi fenomena ini angka kemiskinan yang pada 2015 ini menjadi
membludak.
Kondisi ekonomi Aceh yang tengah anjlok ini seharusnya tidak terjadi, karena
dengan kekayaan sumber daya manusia maupun alamnya, Aceh memiliki potensi yang
cukup besar dalam mengembangkan perekonomiannya. Hanya saja masalahnya adalah,
Pemerintah serta Aceh belum mampu berfikir kreatif dalam mengelola anggarannya
untuk mengembangkan ekonomi kreatif dimana
di zaman globalisasi ini menjadi kunci dalam persaingan ekonomi global.
Ketidakkreatifan Pemerintah aceh dalam
mengelola anggarannya terlihat dari
melimpahnya dana
Otsus
sekitar
Rp 41,23 triliun yang diterima Aceh sejak tahun 2008 hingga 2015 yang selalu
meningkat sekitar
rata-rata 8,82% di setiap tahunnya. Melimpahnya dana otsus tersebut belum memberikan
kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi Aceh yang hanya tumbuh sekitar
dibawah 6,0% selama delapan tahun terakhir. Selain itu, mainset kebanyakan masyarakat Aceh yang belum terbiasa pada
orientasi bisnis ataupun membuka usaha sendiri, dan menjadi aparatur negara masih menjadi
tujuan utama sehabis pendidikan.
Sehingga penyerapan APBA hanya dihabiskan sebagian besar untuk belanja rutin
saja tidak pada belanja publik yang sebenarnya lebih bermanfaat bagi masyarakat
umum.
Rekomendasi Untuk
Pemerintah Aceh:
Berbagai
permasalahan pelik ini pun
tentulah harus dihadapi
secara dewasa maupun dengan kepala dingin,
beberapa rekomendasi penulis sampaikan kepada Pemerintah Aceh dalam menangani
beberapa masalah diatas . Pertama, pemberontakan jangan
dilawan dengan perburuan yang hanya akan menambah jumlah pemberontak yang ada
saat ini. Ada kalanya pemerintah mengajak duduk bersama serta berdikusi dengan
mereka para pemberontak untuk mencari solusi terbaik dalam menangani tuntutan
yang diingini. Aceh sudah cukup dengan pertumpahan darah jangan ada lagi
konflik yang merenggut jiwa, sikapi segalanya dengan nilai persaudaraan nan
damai.
Kedua, korupsi pada hakikatnya hanya
bisa dilawan dengan kuatnya komitmen yang dijalankan secara konsisten dari
penegak hukum di Aceh, untuk memberantas korupsi yang tengah membudaya di kalangan elit
pemerintahan. Kalau ini tidak bisa berjalan, maka anggaran yang melimpahi Aceh
saat ini hingga beberapa tahun ke depan sama sekali tidak akan berimbas pada kesejahteraan rakyat.
Selain itu mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam memerangi korupsi dengan melaporkan seluruh
kejahatan korupsi yang terjadi di sekitarnya, karena korupsi bagian dari
kejahatan Hak Asasi Manusia yang luar biasa. Hal ini merupakan cara paling
efektif untuk ,menutup celah kepada oknum-oknum tertentu melakukan korupsi.
Ketiga, Pemerintah Aceh dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus berfikir kreatif dalam mengembangkan
perekonomian Aceh yang tengah terpuruk saat ini. Pemerintah harus pintar dalam
mengelola limpahan APBA kedalam kegiatan ekonomi yang lebih produktif dan
bermanfaat bagi masyarakat banyak. Salah satunya adalah dengan mengembangkan industri
sektor pertanian, perikanan atau kelautan, perkebunan
dan migas yang menjadi keunggulan Aceh. Pemerintah Aceh juga harus
pandai dalam mengundang investor asing untuk masuk ke Aceh, untuk itu tingkat
keamanan serta pembangunan seperti infrastruktur terutama jalan-jalan sebagai
sarana transportasi pelabuhan, pasar tradisional, dan sarana publik lainnya
sangat mendukung dalam meyakinkan investor asing untuk investasi ke Aceh, jika
ini berhasil maka peluang kerja bagi masyarakat Aceh akan terbuka lebar .Selain
itu, pemerintah Aceh harus berusaha menyadarkan masyarakat kita agar memiliki
keinginan membuat usaha bisnis yang mampu menyerap tenaga kerja, hal ini guna
mengurangi tingkat pengangguran, untuk itu perlu adanya kebijakan pemberian
kredit atau pembiayaan untuk usaha mikro dengan skala bunga yang rendah.
Kesemua
permasalahan Aceh saat ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera
terselesaiakan oleh Pemerintah Aceh,
tergantung bagaimana keinginan serta kesungguhan Pemerintah Aceh dalam menyelesaikannya, sebagai masyarakat Aceh kita
tentu berharab berbagai permaslahan di Aceh dapat segera dituntaskan, demi
tercapainya kedamaiaan serta masyarakat Aceh yang sejahtera.
Penulis:
Tajul Ula, S.E
Alumni
Fakultas Ekonomi Unsyiah dan Siswa Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) Angkatan 5