image05 image06 image07

300x250 AD TOP

Bagi kawan-kawan yang ingin mengirim tulisan seputar ekonomi dapat dikirim melalui email economicdevelopment1958@gmail.com
Created by : Tajul Ula

Friday, 5 June 2015

Tagged under:

Ironi 10 Tahun Perdamaian Aceh

Perdamaian Aceh
Perdamaian Aceh
Banda Aceh, Edev- Sungguh ironi, apa yang tengah terjadi pada negeri Aceh yang kita cintai ini, jika kita kaji lebih dalam sangat banyak permasalahan-permasalahan Aceh yang belum terselesaikan dan malah menimbulkan permasalahan baru. Belum lama ini permasalahan yang cukup pelik, namun sudah sangat akrab di telinga masyarakat Aceh adalah munculnya pemberontakan baru oleh beberapa mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi yang tentu membangkitkan kembali trauma masa konflik masyarakat Aceh saat ini. Kasus pemberontakan ini tentu sangat mengganggu perdamaian dan keamanan  Aceh, dimana seharusnya negeri berjuluk Serambi  Mekah yang sudah dinyatakan aman dari pemberontakkan sejak sepuluh tahun yang lalu dengan ditandai nota kesepakan Mou Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan petinggi GAM pada 15 Agustus tahun 2005 ini, tidak perlu lagi mengulang kisah kelam nan panjang masa konflik yang merenggut beribu jiwa. 

Sebenarnya bukan tanpa alasan, pasukan Din Minimi ini melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Aceh. Beberapa pernyataan Din Mini yang ditayangkan lewat berbagai media, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap Pemerintah Aceh yang saat ini dinahkodai Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir), diantaranya mereka menuntut hak masyarakat Aceh, kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, fakir miskin, anak yatim, dan janda korban konflik serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki yang harus segera diselesaikan. Tuntutan meraka tersebut dilayangkan demi keadilan masyarakat Aceh serta untuk kesejahteraan masyarakat Aceh yang saat ini masih dilanda kemiskinan dan ketimpangan.(Koran Serambi 26/5/ 2015).

Bukannya kita mendukung aksi pemberontakan yang dilakukan komplotan Din Minimi tersebut, namun jika kita rasa bersama tuntutan yang disarangkan oleh komplotan pemberontak Din Minimi terhadap kepemimpinanan Zikir ini ada benarnya, jika kita telisik lebih dalam masih banyak hak masyarakat Aceh, kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, fakir miskin, anak yatim, dan janda korban konflik, serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki yang belum terselesaikan pasca 10 tahun perdamaian Aceh. Perburuan yang dilakukan aparat TNI dan Polri yang saat ini berhasil menewaskan empat orang anggota komplotan pemberontak tersebut bisa jadi bukan solusi yang terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut, yang dikhawatirkan adalah munculnya pemberontak-pemberontak baru dalam skala yang besar akibat dendam dari oknum-oknum tertentu terutama dari pihak kerabat-kerabat komplotan yang tewas. Indikasi ini harus menjadi kekhawatiran Pemerintah Aceh untuk mencari solousi lain dalam mengatasi konflik ini agar tidak berkepanjangan.

Selain masalah pemberontakan oleh komplotan Din Minimi, permasalahan yang masih menjadi musuh utama negeri rencong ini adalah tingkah laku para pejabat kita yang masih doyan memakan uang rakyat alias korupsi. Sepanjang tahun 2014 lalu terdapat puluhan kasus korupsi yang menjerat beberapa elit pejabat daerah yang merugikan uang Negara hingga milyaran rupiah, banyaknya kasus korupsi itu pun membawa Aceh kepada salah satu Provinsi terkorup yang ada di Indonesia. Salah satu penyebab utama tingginya prilaku kotor ini adalah mentalitas yang dimiliki pejabat daerah yang berorentasi pada memperkaya diri sendiri, kelompok, dan korporasinya menjadi faktor utama suburnya korupsi di Aceh, apa lagi didukung dengan tingginya jumlah anggaran yang dikelola pemerintah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan melimpahnya uang terutama dari dana otonomi khusus dimiliki Aceh.

Prestasi yang sangat memalukan ini, tentu menimbulkan kesulitan bagi Aceh yang memasuki 10 tahun damai namun masih berada dalam kondisi masyarakatnya yang jauh dari sejahtera, ini dibuktikan dari data yang ditunjukkan BPS pada September 2014 lalu, dimana jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh mencapai 837.000 orang atau sekitar 16,98%. (Harian Medan Bisnis,08/01/2015), jumlah ini juga membawa Aceh kepada tiga besar Provinsi dengan tingkat kemiskinan paling besar se Indonesia. Tingginya tingkat korupsi dan tingkat kemisikinan Aceh yang beralur positif ini, menandai bahwa korupsi adalah salah satu biang keladi dari carut-marutnya kondisi ekonomi Aceh hingga saat ini. Seperti data yang di laporkan  Badan Pusat Statistik (BPS) untuk triwulan pertama 2015, ekonomi Aceh hanya mampu tumbuh 1,65%, dan ini menurun -2,38% dibanding akhir tahun 2014 lalu, angka rendah tersebut membawa ekonomi Aceh pada rangking terbawah nasional dalam hal pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ekonomi Aceh yang sangat memprihatinkan ini sangatlah mengancam kesejahteraan masyarakat Aceh, Ini terlihat dari tingkat pengangguran yang meningkat 0,98% dibandingkan akhir tahun 2014 lalu, dan hingga saat ini tingkat pengangguran di Aceh mencapai 7,73%. Angka pengangguran 7,73 % atau sekitar 175 orang ini bukanlah nilai akhir, kemungkinan besar jika Pemerintah Aceh tidak cepat tanggab dalam menghadapi fenomena ini angka kemiskinan yang pada 2015 ini menjadi membludak. Kondisi ekonomi Aceh yang tengah anjlok ini seharusnya tidak terjadi, karena dengan kekayaan sumber daya manusia maupun alamnya, Aceh memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan perekonomiannya. Hanya saja masalahnya adalah, Pemerintah serta Aceh belum mampu berfikir kreatif dalam mengelola anggarannya untuk mengembangkan ekonomi kreatif dimana di zaman globalisasi ini menjadi kunci dalam persaingan ekonomi global.

Ketidakkreatifan Pemerintah aceh dalam mengelola anggarannya terlihat dari melimpahnya dana Otsus sekitar Rp 41,23 triliun yang diterima Aceh sejak tahun 2008 hingga 2015 yang selalu meningkat sekitar rata-rata 8,82% di setiap tahunnya. Melimpahnya dana otsus tersebut belum memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi Aceh yang hanya tumbuh sekitar dibawah 6,0% selama delapan tahun terakhir. Selain itu, mainset kebanyakan masyarakat Aceh yang belum terbiasa pada orientasi bisnis ataupun membuka usaha sendiri, dan menjadi aparatur negara masih menjadi tujuan utama sehabis pendidikan. Sehingga penyerapan APBA hanya dihabiskan sebagian besar untuk belanja rutin saja tidak pada belanja publik yang sebenarnya lebih bermanfaat bagi masyarakat umum.


Rekomendasi Untuk Pemerintah Aceh:
Berbagai permasalahan pelik ini pun tentulah harus dihadapi secara dewasa maupun dengan kepala dingin, beberapa rekomendasi penulis sampaikan kepada Pemerintah Aceh dalam menangani beberapa masalah diatas . Pertama, pemberontakan jangan dilawan dengan perburuan yang hanya akan menambah jumlah pemberontak yang ada saat ini. Ada kalanya pemerintah mengajak duduk bersama serta berdikusi dengan mereka para pemberontak untuk mencari solusi terbaik dalam menangani tuntutan yang diingini. Aceh sudah cukup dengan pertumpahan darah jangan ada lagi konflik yang merenggut jiwa, sikapi segalanya dengan nilai persaudaraan nan damai.
Kedua, korupsi pada hakikatnya hanya bisa dilawan dengan kuatnya komitmen yang dijalankan secara konsisten dari penegak hukum di Aceh, untuk memberantas korupsi  yang tengah membudaya di kalangan elit pemerintahan. Kalau ini tidak bisa berjalan, maka anggaran yang melimpahi Aceh saat ini hingga beberapa tahun ke depan sama sekali tidak  akan berimbas pada kesejahteraan rakyat. Selain itu mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam  memerangi korupsi dengan melaporkan seluruh kejahatan korupsi yang terjadi di sekitarnya, karena korupsi bagian dari kejahatan Hak Asasi Manusia yang luar biasa. Hal ini merupakan cara paling efektif untuk ,menutup celah kepada oknum-oknum tertentu melakukan korupsi.
Ketiga, Pemerintah Aceh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus berfikir kreatif dalam mengembangkan perekonomian Aceh yang tengah terpuruk saat ini. Pemerintah harus pintar dalam mengelola limpahan APBA kedalam kegiatan ekonomi yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Salah satunya adalah dengan mengembangkan industri sektor  pertanian, perikanan atau kelautan, perkebunan dan migas yang menjadi keunggulan Aceh. Pemerintah Aceh juga harus pandai dalam mengundang investor asing untuk masuk ke Aceh, untuk itu tingkat keamanan serta pembangunan seperti infrastruktur terutama jalan-jalan sebagai sarana transportasi pelabuhan, pasar tradisional, dan sarana publik lainnya sangat mendukung dalam meyakinkan investor asing untuk investasi ke Aceh, jika ini berhasil maka peluang kerja bagi masyarakat Aceh akan terbuka lebar .Selain itu, pemerintah Aceh harus berusaha menyadarkan masyarakat kita agar memiliki keinginan membuat usaha bisnis yang mampu menyerap tenaga kerja, hal ini guna mengurangi tingkat pengangguran, untuk itu perlu adanya kebijakan pemberian kredit atau pembiayaan untuk usaha mikro dengan skala bunga yang rendah.
Kesemua permasalahan Aceh saat ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera terselesaiakan oleh Pemerintah Aceh, tergantung bagaimana keinginan serta kesungguhan  Pemerintah Aceh dalam menyelesaikannya, sebagai masyarakat Aceh kita tentu berharab berbagai permaslahan di Aceh dapat segera dituntaskan, demi tercapainya kedamaiaan serta masyarakat Aceh yang sejahtera.


Penulis: Tajul Ula, S.E
Alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah dan Siswa Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) Angkatan 5

Thursday, 14 May 2015

Tagged under:

Nilai Kurs dan Harga BBM Tak Menentu, Bagaimana Perkonomian Indonesia Sebaiknya?

Ilustrasi Ekonomi Indonesia
Ilustrasi: Ekonomi Indonesia
Banda Aceh, Edev- Awal pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemegang nahkoda kepimimpinan Republik Indonesia, perekonomian Indonesia dihadapi berbagai ketidakpastian, hal ini menyebabkan ketidakyakinan masyarakat terhadap target pertumbuhan ekonomi yang digodok pemerintah tahun ini sebesar 5,7 persen. Permasalahan ekonomi yang paling banyak dibicarakan pada awal tahun 2015 hingga saat ini adalah jatuhnya nilai tukar secara terus menerus dan sempat menyentuh angka lebih Rp 13.000 per-USD. Anjloknya nilai tukar rupiah tersebut lebih disebabkan oleh berbagai faktor eksternal dimana ketidakpastian ekonomi global diantaranya, pelambatan perekonomi beberapa negara seperti AS, Jepang, China dan Eropa.

Anjloknya nilai tukar rupiah hingga Rp 13.000 ini menurut Ekonom Indef Eko Listiyanto (sindonews.com, 4/3) dengan pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah sebesar 5,7% akan sulit terealisasi apabila rupiah masih berada dikisaran Rp12.900-Rp13.000 per USD. Menurutnya, untuk mencapai target tersebut pemerintah harus berusaha agar rupiah bisa kembali ke level Rp12.500 per USD. Dia mengasumsikan, apabila iklim Indonesia bisa membaik serta suku bunga lebih kompetitif maka ke depan pertumbuhan ekonomi dapat segera membaik. Namun, masih terdapat persoalan baru di mana pada kuartal III atau IV akan ada pembayaran bunga utang luar negeri yang bisa kembali menekan rupiah. Jika rupiah tidak bisa menguat artinya jika Indonesia ingin impor akan membutuhkan harga yang lebih mahal atau tinggi. Sehingga dapat menekan pertumbuhan. Jadi 5,1%, menutur Eko, angka pertumbuhan sebesar itu sudah realistis dan memasukan beberapa variabel

Selain itu, lima kali perubahan harga BBM yang sudah dilakukan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terhitung sejak Oktober 2014 sampai Maret 2015 juga menjadi perbincangan. Dilansir merdeka.com alasan pemerintahan kali ini menaik-turunkan harga BBM adalah untuk memperbaiki pengelolaan anggaran yang lebih sehat, karena selama ini banyak anggaran yang dihabiskan hanya untuk konsumsi, alasan lainnya adalah kebijakan ini merespon harga minyak dunia yang bergerak fluktuatif. Ini mengartikan bahwa harga BBM dalam negeri dilepas mengikuti perubahan harga minyak dunia dan pemerintahan menghapus subsidi untuk menghemat anggaran yang dapat digunakan untuk hal lain yang lebih menguntungkan seperti pembangunan infrastruktur yang memadai sehingga dapat meningkatkan investasi dengan mengundang investor asing, hal ini dianggab tentu akan memperluas lapangan kerja.

Menimbang Untung dan Rugi

Naik maupun turunnya nilai tukar secara teori memang bisa menjadi keuntungan maupun sebaliknya bagi Indonesia, namun untung dan rugi tersebut harus dilperhatikan secara seksama berapa besar perbandingannya dengan pertumbuhan ekonomi. Rendahnya nilai mata uang rupiah saat ini menjadi kendala yang serius bagi Indonesia, hal ini dikarenakan ketergantungan impor yang masih sangat besar serta ekspor yang beberapa tahun terakhir secara umum mengalami penurunan, hal ini dikarenakan ekspor Indonesia yang masih bergantung pada ekspor barang komoditi (mentah). 

Beberapa tahun terakhir harga-harga barang komoditi di pasar dunia jatuh sehingga menyebabkan penurunan ekspor yang sangat signifikan, contohnya kita bisa mengingat  krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008 yang salah satunya disebabkan harga komoditas dunia yang anjlok sehingga neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit yang cukup lebar, hal ini tentu menjadi permasalahan yang harus segera terselesaikan karena ketergantungan pada barang komoditi akan membuat Indonesia sangat tergantung pada volatilitas harga komoditas di pasar internasional. 

Dalam hal ini tentu pemerintah harus belajar dari segudang pengalaman negeri ini yang sudah beberapa kali jatuh kedalam krisis ekonomi. Kebijakan yang tentu harus pemerintah lakukan untuk meningkatkan daya saing ekspor adalah dengan meningkatkan value added dari barang-barang ekspor dengan lebih banyak mengekspor barang-barang manufaktur yang bernilai lebih tinggi. Semakin meningkatnya daya saing ekspor, tentu akan berimbas pada pendapatan negara yang lebih banyak sehingga nilai tukar Rupiah menjadi lebih kompetitif di pasar valuta asing, sehingga eksistensi nilai tukar Rupiah menggambarkan perekonomian Indonesia.

Sementara dari naik-turunnya harga BBM yang sudah berkali-kali terjadi di era Jokowi-JK ada beberapa hal positif dan negatif yang bisa kita rasakan saat ini. Positifnya adalah banyaknya anggaran yang disubsidi untuk BBM dapat diplotkan kepada hal-hal lain yang lebih produktif, sehingga ekonomi dapat tumbuh dengan baik, selain itu ketergantungan yang tinggi yang dihadapi masyarakat terhadap BBM perlahan akan terhapus yang juga mendorong adanya inovasi-inovasi baru yang bisa menggantikan BBM. Negatifnya dari naik-turunnya BBM adalah masyarakat menghadapi ketidakpastian terhadap fluktuasi harga BBM serta masyarakat tidak siap dalam menghadapi perubahan harga beragam komoditas pokok,  hal ini dikarenakan komunikasi yang belum terlaksana dengan baik oleh  pemerintah kepada publik terkait kenaikan BBM dan lemahnya manajemen pengelolaan harga BBM. 

Selain itu fluktuasi harga BBM yang tidak menentu seperti beberapa bula terakhir  ini telah cukup banyak membawa dampak bawaan seperti biaya transportasi, komoditas pangan dan logistik yang kembali merangkak naik. Namun lacurnya, sampai sekarang, pemerintah belum memiliki manajemen pengaturan harga barang dan tata niaga yang sesuai dengan fluktuasi harga BBM, akibatnya harga barang tersebut hanya akan merespons ketika harga BBM naik.

Positif dan negatif dari fluktuasi BBM yang sudah kita rasakan hingga saat ini, terasa banyak yang lebih besar adalah sisi negatifnya. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan khusus dari Pemerintah dalam mengontrol harga akibat pengaruh kenaikan harga BBM serta jika perlu terapkan saja kebijakan subsidi kembali dengan angka yang dianggab optimal, jangan diturun-naikkan, hal ini untuk membiasakan masyarakat terbiasa dengan kondisi harga BBM yang sudah ada dan rasa keridakpastian hilang, dengan tidak begitu tingginya subsidi BBM, pemerintah juga masih bisa mengalokasikan dana untuk hal yang lebih produktif untuk menumbuhkan perekonomian Indonesia.


Penulis: Tajul Ula  


Sunday, 15 February 2015

Tagged under:

Peluang Bisnis Coklat di Hari Valentine




coklat
coklat (sumber, www.superindo.com)
Banda Aceh, Edev- Berbicara hari valentine sangat identik dengan Coklat, dimana hari yang jatuh pada tanggal 14 Februari ini diperingati sebagai hari kasih sayang. Pada hari tersebut, hampir seluruh orang di dunia terutama negara dengan mayoritas non-muslim saling berbagi coklat, hal ini dilakuka sebagai tanda kasih sayang kepada para pasangan laki dan perempuan baik tua maupun muda serta kepada orang tercinta. 

Lantas  dengan momentum valentine ini permintaan coklat di pasaran tentu meningkat drastis dan peningkatan permintaan ini juga berdampak pada harga kakao terutama yang sudah diolah menjadi bahan setengah jadi (bubuk coklat) atau bahan jadi coklatnya menjadi lebih mahal dari hari biasanya.

Bagi daerah Aceh yang memiliki julukan Serambi Mekah dengan masyarakatnya yang mayoritas muslim, hari valentine tidak menjadi budaya yang dianut bagi masyarakatnya. Akan tetapi dengan kekayaan kakao yang dimilikinya, tentu Aceh harus bisa memanfaatkan peluang di hari valentine ini dengan melakukan ekspor besar-besaran yang akan memberi meningkatkan pendapatan daerah yang juga meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

Untuk memenangkan persaingan dengan daerah serta negara lain, bagi petani maupun masyarakat Aceh yang ingin berbisnis coklat harus memiliki kreatifitas yang tinggi guna membuat coklat Aceh lebih unik, nikmat dan berkualitas. Jika ini bisa dilakukan, tidak mustahil jika bisnis coklat valentine akan laris manis.
                                                             
Namun dengan kondisi kakao serta pengolahan kakao menjadi coklat di Aceh yang masih jauh dengan kata bekualitas (baca : Ironi Potensi Coklat Bagi Aceh), tampaknya peluang ini belum bisa memberi banyak harapan bagi Aceh. Oleh karena itu bagi pemerintah Aceh harus secara cepat untuk mengambil berbagai kebijakan yang bisa memanfaatkan potensi bisnis coklat yang mendunia dengan memberi pembekalan bagi petani maupun masyarakat untuk dapat melakukan pengolahan kakao menjadi coklat yang tentu harga jualnya akan meningkat. Ketika industri Coklat yang telah meningkatkan nilai jual kakao telah diupayakan, tugas berikutnya adalah memastikan produk– produk tersebut mendapatkan tempat di pasaran, baik di pasar tradisional ataupun modern.

Sabtu, 14 Februari 2015

Penulis: Tajul Ula

Saturday, 14 February 2015

Tagged under:

Ironi Potensi Coklat Bagi Aceh



Banda Aceh, Edev-  Coklat, siapa yang tidak menyukai makan ringan ini, jika ada,  hanya segelintir orang saja. Cita rasa maupun manfaat yang terkandung dalam makanan coklat menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Jenis makanan ini bisa dikonsumsi dengan berbagai bentuk seperti batangan, minuman maupun dicampur dengan berbagai hal lainnya seperti kacang maupun susu dan hal lain sebagainya.

Coklat dan Kakao(
Coklat dan Kakao(sumber, fungsi-media-internet.blogspot.com)
Provinsi Aceh merupakan provinsi dengan penghasil tumbuhan kakao yang cukup besar dimana secara topografi Aceh memiliki potensi yang besar dalam pengembangan kakao atau dalam bahasa latin Theobrema cacao L.

Pohon kakao sendiri merupakan sumber dari pembuatan coklat yang dihasilkan dari bijinya. Untuk dapat menghasilkan biji kakao yang seterusnya diolah menjadi bahan setengah jadi (bubuk coklat) maupun bahan jadi maka diperlukan kakao yang sudah umur 1,5 tahun atau 18 bulan.

Bagi masyarakat Aceh kakao sudah sangat familiar karena kakao sendiri merupakan salah satu komoditas unggulan yang berkualitas sehingga bisa  menjadi komoditas ekspor yang menguntungkan bagi Provinsi Aceh.

Daerah-daerah yang menjadi sentra produksi kakao di Aceh adalah Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tenggara. Bertani kakao ini sebenarnya sangat sesuai dengan perkebunan rakyat di Aceh, tanaman yang dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun bisa menguntungkan bagi petani dan bisa menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani. 
                                                                          
Namun sangat disayangkan potensi kakao yang dimiliki Aceh saat ini belum bisa ditangani dengan baik yang tentu merugikan petani. Yang menjadi tantangannya adalah seperti masih panjangnya rantai pemasaran dari petani sampai ke konsumen, kemampuan petani dalam mengolah kakao menjadi coklat berkualitas serta minimnya dana yang dimiliki petani untuk melakukan ekspor.   

Perlu diketahui, saat ini Eksport Indonesia khususnya Aceh terhadap kakao masih didominasi oleh bahan– bahan mentah yang sama sekali belum diolah, apabila dibandingkan antara harga jual kakao yang belum diolah dengan kakao yang sudah diolah menjadi coklat adalah sebesar 1:19. Sebenarnya pengelolaan kakao menjadi coklat seperti yang sudah dijelaskan tidak terlalu sulit, hanya saja pemerintah harus serius dalam mengembangkan industri coklat di Aceh yang tentu akan meningkatkan pendapatan daerah sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Sangat ironi memang dengan limpahan kakao yang dimiliki, Aceh seakan tidak berkutik dengan produksi coklatnya yang berkualitas. Seperti yang diberitakan Indonesia Finance Today yang menyatakan Produksi kakao olahan dari perusahaan asing  di Indonesia pada 2011 mencapai 196 ribu ton, naik 55,5% dari tahun 2010 sebesar 126 ribu ton.

Pada tahun 2011 perusahaan asing di industri kakao olahan Indonesia diperkirakan menguasai 70% dari produksi kakao olahan nasional yang termasuk Aceh sebagai salah satu daerah penyumbang kakao terbesar di tingkat nasional. Sangat disayangkan ketika indonesia khususnya Aceh memiliki produksi kakao yang melimpah, namun pasar coklatnya masih didominasi oleh perusahaan– perusahaan coklat asing.

Oleh karena itu peran sangat besar harus ditanggung oleh Pemerintah Aceh agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk mengembangkan sektor komoditas ini seperti:
       1.     Melakukan pelatihan kepada petani kakao serta masyarakat lain agar bisa menghasilkan kakao yang berkualitas sekaligus diproduksi dalam bentuk bahan setengah jadi (bubuk coklat) maupun bahan jadi sehingga memberi nilai tambah (Value Added) yang menambah pendapatan daerah. Maka diperlukan pembelajaran dari daerah-daerah atau negara-negara yang sukses akan produksi coklatnya seperti negara Belgia dan Swiss.
      2.      Pemberian bantuan dana yang mampu membuat petani bisa melakukan ekspor sehingga dapat menambah pendapatan daerah.
       3.      Mengundang investor agar berinvestasi di Aceh sehingga dapat membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Aceh.
        4.      Mendorong sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat agar lebih berperan aktif dalam pengembangan komoditas  ini.
        5.      Membentuk UKM-UKM yang menghasilkan coklat– coklat yang unik sekaligus berkualitas di Aceh.
       6.      Jika industri Coklat yang telah meningkatkan nilai jual kakao telah diupayakan, tugas berikutnya adalah memastikan produk – produk tersebut mendapatkan tempat di pasaran, baik di pasar tradisional ataupun modern.

Jika hal tersebut bisa dilakukan, maka Provinsi Aceh dapat memaksimalkan pemanfaatan dari sumberdaya alam yang dimilikinya sekaligus menjadikan Aceh raja kakao yang juga penghasil coklat bermutu di tingkat nasional maupu internasional, sehingga dapat meningkatkan pendapatan daerah yang juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



Sabtu, 14 Februari 2015

Penulis: Tajul Ula


Friday, 13 February 2015

Tagged under:

Ekonomi Kreatif Kunci Pertumbuhan Ekonomi

ekonomi kreatif
ekonomi kreatif (Sumber, farelakbar.blogdetik.com)

Banda Aceh, Edev-  Era modern yang kita rasakan saat ini merupakan era dimana kemajuan perekonomian suatu negara tidak hanya ditentukan oleh sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimiliki. Namun yang terpenting adalah bagaimana suatu negara bisa memanfaatkan teknologi maupun inovasi-inovasi kreatif sehingga bisa menambah pundi-pundi devisa negara.

Istilah ekonomi kreatif sendiri mulai populer sejak tahun 2001. Ada beberapa istilah dalam penyebutan ekonomi kreatif seperti industri kreatif, ekonomi budaya, ekonomi intelektual, ekonomi konten, dan lainnya. Menurut John Howkins yang merupakan penulis dari Inggris, menyebutkan ekonomi kreatif terdiri dari 15 cabang industri yang terkait bidang seni, desain, sains, dan teknologi. Bagi negara seperti Indonesia yang kaya akan SDA, SDM, serta budayanya tentu bukan hal yang mustahil untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berperan besar dalam menyumbang devisa negara serta mengurangi pengangguran.

Ada beberapa negara yang berhasil membuat sektor ekonomi kreatif berkontribusi besar terhadap PDB, seperti Amerika Serikat (11,12%), Thailand (9,5%), dan Korea Selatan (8,67%), (academia.edu, dan cdc-ccd). Angka diatas tentu merupakan angka yang besar dalam menyumbang kekayaan negara.

Dalam era ini yang sedang menjadi  sektor utamanya adalah sektor
fashion, seni, film, musik, dan arsitektur. Seperti hal yang dilakukan oleh Korea Selatan yang mengembangkan sektor musiknya yang kita kenal dengan K-Pop yang tidak hanya mempengaruhi masyarakat dunia dengan musiknya saja, namun efek dari itu budaya, seni, film serta fashion ala Korea pun semakin digandrungi oleh kaula muda yang tersebar diberbagai negara.
Studi kasus terdekat adalah nagara Tahailand yang berhasil mengembangkan industri kreatifnya sehingga berdampak baik bagi pertumbuhan ekonominya. Dimana Thailand di tahun 2008 telah mengekspor lebih dari US$ 13 miliar produk kreatif  yang menghasilkan lebih dari 1 triliun baht (sekitar 360 triliun rupiah) melalui 875 ribu tenaga kerja untuk sektor tersebut, ini juga mengartikan satu orang pekerja kreatif Thailand menghasilkan lebih dari 411 juta rupiah per tahun (di tahun 2008).
Bila dibadingkan dengan Indonesia, pada tahun 2013, satu orang pekerja kreatif Indonesia menghasilkan sekitar 54 juta rupiah per tahun. Angka ini hampir 8 kali lipat lebih rendah dibanding Thailand. Dengan alasan tersebut Thailand mengantongi peringkat ke-17 sebagai negara pengekspor produk kreatif terbesar di dunia.
Melihat potensi yang dimiliki Indonesia, tentu ekonomi kreatif apabila dikembangkan dengan maksimal, Indonesia bisa jadi negara dengan pengekspor produk kreatif terbesar di dunia yang juga akan memberi sumbangsi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, kita bisa melihat letak geografis dan kekayaan alam indah yang dimiliki Indonesia, tentu ini hal tersebut perlu dieksplorasi agar menyerap wisatawan asing. Oleh karena itu, Indonesia dalam mengembangkan ekonomi kreatif yang optimal maka beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah.

1.     Mengoptimalkan pengembangan industri.
2.      Pengembangan konten, kreasi, dan teknologi kreatif yang harus ditingkatkan.
3.      Melakukan perluasan dan penetrasi pasar bagi produk dan jasa kreatif di dalam dan di luar negeri.
4.      Memperkuat institusi ekonomi kreatif.
5.      Mengoptimalkan pembiayaan pelaku sektor ekonomi kreatif.
6.      Mengoptimalkan Pengembangan sumber daya ekonomi kreatif.

Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 menjadi momentum bagi Indonesia dalam mengembangkan ekonomi kreatif yang tentu sangat menguntungkan. Akan terasa sangat rugi apabila Indonesia dengan segala kekayaan yang dimiliki tidak bisa mengembangkan industri kreatif yang memiliki prospek besar dalam mengembangkan perekonomian nasional. Maka dari itu, menjadi tugas pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif atau tidak Indonesia hanya menjadi penonton dalam era MEA.
Jum’at, 13 Februari 2015
Penulis: Tajul Ula

Thursday, 12 February 2015

Tagged under: ,

Ancaman Pengangguran Intelektual

Ilustrasi pengangguran (sumber republika.co.id)
Ilustrasi pengangguran (sumber republika.co.id)


Bps mencatat sebesar 8,46 persen tingkat pengangguran terbuka di Aceh diisi oleh tamatan perguruan tinggi.
Banda Aceh, Edev- Pengurangan masa studi kuliah seperti yang tertera pada Permendikbud no 49 pasal 17 ayat 3 tahun 2014 ini, menimbulkan beberapa pandangan yang berbeda. Mulai dari indikasi terhambatnya kreatifitas mahasiswa yang diekspresikan di organisasi-organisasi kampus, menghambat perkembangan diri mahasiswa dari segi kematangan berpikir, perluasan jaringan (networking), serta kematangan emosional yang kesemua indikasi tersebut akan berdampak pada  tingkat pengangguran pada kalangan tamatan perguruan tinggi.

Muhammad Yunus, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sekaligus pakar Komunikasi Sosial dan Pembangunan ini memandang negatif terhadap permendikbud tersebut.

Ia mengatakan, seharusnya pemerintah harus membuka lapangan kerja lebih banyak di daerah agar terjadi keseimbangan dengan jumlah sarjana yang terus bertambah yang disebabkan peraturan baru tersebut. 

“Jumlah sarjana terus meningkat sementara lapangan kerja tidak bertambah , ini kan jadi masalah,” Jelas Yunus saat dihubungi via handphone, minggu, 16 November 2014.

Fakta yang ditemukan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, dari jumlah 7,17 juta pengangguran yang ada di Indonesia, terdapat sekiranya 593 ribu orang pengangguran intelektual alias berstatus tamatan perguruan tinggi. Sedangkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, menunjukkan penduduk aceh yang termasuk kedalam kategori angkatan kerja sebanyak 2,17 juta jiwa, dimana 183,84 ribu (9,24 persen) diantaranya tidak memiliki pekerjaan (Unemployment). Diantara 183,84 ribu pengangguran tersebut terdapat 8,46 persen (16,99 ribu jiwa-red) pengangguran adalah berasal dari kalangan tamatan perguruan tinggi (sarjana).

Abdul Hakim kepala bidang dintegrasi pengolahan desiminasi statistik, BPS provinsi Aceh saat ditemui di kantornya pada senin, 17 november mengatakan, meskipun berstatus sarjana tidak menjanjikan seseorang tidak menganggur “karena semakin tinggi pendidikannya, maka orang akan lebih selektif dalam bekerja,” tandas Hakim. Hal tersebut lah menurut Hakim yang menjadi faktor utama masih tingginya sarjana yang menganggur selain faktor lapangan kerja yang masih rendah dan factor sedang mencari pekerjaan.

Di lain kesempatan, Samsul Rizal selaku Rektor Unsyiah mengatakan, mahasiswa tidak perlu takut terhadap peraturan tersebut, tidak ada yang namanya membunuh kreativitas mahsiswa ataupun menghambat kreativitas untuk perkembangan diri mahasiswa dalam kematangan berpikir, perluasan jaringan (networking), kematangan emosional yang biasanya didapat di luar kegiatan akademik.

Menurut Samsul, yang ada selama ini kebanyakan mahasiswa lalai terhadap kuliahnya, mereka banyak menghabiskan waktu dengan aktivitas yang tidak begitu penting, misalnya saja duduk di warung kopi selama berjam-jam tanpa ada manfaat sama sekali,“Mahsiswa harus bekerja keras terhadap kuliahnya, bek gadoh teunget (jangan lalai),”tegas Samsul saat ditemui  di kantornya pada senin, 9 november lalu.

Tak lupa Samsul mengingatkan kepada seluruh mahasiswa, bahwa penyesalan selalu datang terlambat, “ maka belajarlah dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan bangsa dimasa yang akan datang,” tutupnya.


Penulis: Tajul Ula


Tagged under:

Peluang Aceh Kembangkan Ekonomi


Peluang Aceh Kembangkan Ekonomi
PETA KERAJAAN ACEH DULU SEKALI (Sumber,ekspresikecilku.blospot.com)
Darussalam, Edev-Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Provinsi Aceh merupakan suatu anugerah yang dimiliki negeri yang berjuluk Serambi Mekah ini. Namun kekayaan tersebut terasa sangat tidak memberi efek apapun bagi perekonomian masyarakat Aceh jika tidak mampu dimanfaatkan dengan baik. Seperti kita ketahui Aceh saat ini mengantongi peringkat ketujuh sebagai provinsi termiskin di Indonesia dengan tingkat kemiskinan sekitar lebih 20 persen, tentu ini tidak sesuai dengan kekayaan alam yang melimpah di bumi Aceh. Dalam mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Aceh merupakan aktor utama yang harus berfikir secara maksimal dalam pemanfaatan keuntungan alam maupun tenaga kerja yang dimilik Aceh. Pemerintah Aceh harus mampu mengelola kekayaan alam Aceh menjadi sesuatu yang bernilai sehingga dapat di ekspor keluar daerah maupun keluar negeri yang memberi keuntungan.

Undang- Undang no 4 tahun 2009 Tentang pelarangan ekspor mineral mentah yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia merupakan peraturan yang tepat bagi Aceh yang sudah terlena akan ekspor mineral mentahnya. Padahal ekspor bahan mentah ini tidak selamanya baik, karena  sebenarnya bahan mentah yang mampu diolah sendiri dapat memberikan nilai tambah yang lebih menguntungkan bagi perekonomian Aceh. Peningkatan teknologi serta pengetahuan teknologi menjadi kunci utama dalam mengelola bahan mentah menjadi lebih bernilai lagi.

Pemerintah harus mengembangkan ekonomi kreatif agar produk-produk yang dihasilkan dari Aceh dapat menarik perhatian pihak luar sehingga ekspor barang-barang Aceh meningkat.Pemerintah Aceh juga harus mampu meningkatkan motivasi bagi masyarakat agar tidak enggan dalam membuka usaha, karena selama ini mainset masyarakat Aceh selalu berpatok pada profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terbatas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi pelatihan serta bantuan bagi masyarakat dan melakukan kampanye terahadap peluang-peluang usaha yang prospek bagus. Semakin banyak munculnya usaha-usaha baru maka semakin banyak pula lapangan kerja yang tebuka, sehingga hal ini dapat menekan jumlah pengangguran sekaligus kemiskinan di Aceh.

Selain itu Pemerintah Aceh mesti melakukan kampanye akan keamanan berinvestasi di Aceh. Provinsi Aceh yang merupakan daerah bekas konflik tentu berdampak pada ketakutan bagi orang luar yang ingin berinvesatasi di Aceh. Ketika Pemerintah Aceh mampu meyakinkan pihak luar untuk berivestasi dengan jaminan keamanan yang diberikan tentu akan memberi dampak positif bagi perekonomian Aceh.

Kamis, 12 Februari 2015

Penulis: Tajul Ula