300x250 AD TOP

Friday 5 June 2015

Tagged under:

Ironi 10 Tahun Perdamaian Aceh

Perdamaian Aceh
Perdamaian Aceh
Banda Aceh, Edev- Sungguh ironi, apa yang tengah terjadi pada negeri Aceh yang kita cintai ini, jika kita kaji lebih dalam sangat banyak permasalahan-permasalahan Aceh yang belum terselesaikan dan malah menimbulkan permasalahan baru. Belum lama ini permasalahan yang cukup pelik, namun sudah sangat akrab di telinga masyarakat Aceh adalah munculnya pemberontakan baru oleh beberapa mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin oleh Nurdin bin Ismail Amat alias Din Minimi yang tentu membangkitkan kembali trauma masa konflik masyarakat Aceh saat ini. Kasus pemberontakan ini tentu sangat mengganggu perdamaian dan keamanan  Aceh, dimana seharusnya negeri berjuluk Serambi  Mekah yang sudah dinyatakan aman dari pemberontakkan sejak sepuluh tahun yang lalu dengan ditandai nota kesepakan Mou Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan petinggi GAM pada 15 Agustus tahun 2005 ini, tidak perlu lagi mengulang kisah kelam nan panjang masa konflik yang merenggut beribu jiwa. 

Sebenarnya bukan tanpa alasan, pasukan Din Minimi ini melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Aceh. Beberapa pernyataan Din Mini yang ditayangkan lewat berbagai media, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap Pemerintah Aceh yang saat ini dinahkodai Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir), diantaranya mereka menuntut hak masyarakat Aceh, kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, fakir miskin, anak yatim, dan janda korban konflik serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki yang harus segera diselesaikan. Tuntutan meraka tersebut dilayangkan demi keadilan masyarakat Aceh serta untuk kesejahteraan masyarakat Aceh yang saat ini masih dilanda kemiskinan dan ketimpangan.(Koran Serambi 26/5/ 2015).

Bukannya kita mendukung aksi pemberontakan yang dilakukan komplotan Din Minimi tersebut, namun jika kita rasa bersama tuntutan yang disarangkan oleh komplotan pemberontak Din Minimi terhadap kepemimpinanan Zikir ini ada benarnya, jika kita telisik lebih dalam masih banyak hak masyarakat Aceh, kesejahteraan bagi mantan kombatan GAM, fakir miskin, anak yatim, dan janda korban konflik, serta turunan UUPA dalam bingkai MoU Helsinki yang belum terselesaikan pasca 10 tahun perdamaian Aceh. Perburuan yang dilakukan aparat TNI dan Polri yang saat ini berhasil menewaskan empat orang anggota komplotan pemberontak tersebut bisa jadi bukan solusi yang terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut, yang dikhawatirkan adalah munculnya pemberontak-pemberontak baru dalam skala yang besar akibat dendam dari oknum-oknum tertentu terutama dari pihak kerabat-kerabat komplotan yang tewas. Indikasi ini harus menjadi kekhawatiran Pemerintah Aceh untuk mencari solousi lain dalam mengatasi konflik ini agar tidak berkepanjangan.

Selain masalah pemberontakan oleh komplotan Din Minimi, permasalahan yang masih menjadi musuh utama negeri rencong ini adalah tingkah laku para pejabat kita yang masih doyan memakan uang rakyat alias korupsi. Sepanjang tahun 2014 lalu terdapat puluhan kasus korupsi yang menjerat beberapa elit pejabat daerah yang merugikan uang Negara hingga milyaran rupiah, banyaknya kasus korupsi itu pun membawa Aceh kepada salah satu Provinsi terkorup yang ada di Indonesia. Salah satu penyebab utama tingginya prilaku kotor ini adalah mentalitas yang dimiliki pejabat daerah yang berorentasi pada memperkaya diri sendiri, kelompok, dan korporasinya menjadi faktor utama suburnya korupsi di Aceh, apa lagi didukung dengan tingginya jumlah anggaran yang dikelola pemerintah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan melimpahnya uang terutama dari dana otonomi khusus dimiliki Aceh.

Prestasi yang sangat memalukan ini, tentu menimbulkan kesulitan bagi Aceh yang memasuki 10 tahun damai namun masih berada dalam kondisi masyarakatnya yang jauh dari sejahtera, ini dibuktikan dari data yang ditunjukkan BPS pada September 2014 lalu, dimana jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh mencapai 837.000 orang atau sekitar 16,98%. (Harian Medan Bisnis,08/01/2015), jumlah ini juga membawa Aceh kepada tiga besar Provinsi dengan tingkat kemiskinan paling besar se Indonesia. Tingginya tingkat korupsi dan tingkat kemisikinan Aceh yang beralur positif ini, menandai bahwa korupsi adalah salah satu biang keladi dari carut-marutnya kondisi ekonomi Aceh hingga saat ini. Seperti data yang di laporkan  Badan Pusat Statistik (BPS) untuk triwulan pertama 2015, ekonomi Aceh hanya mampu tumbuh 1,65%, dan ini menurun -2,38% dibanding akhir tahun 2014 lalu, angka rendah tersebut membawa ekonomi Aceh pada rangking terbawah nasional dalam hal pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ekonomi Aceh yang sangat memprihatinkan ini sangatlah mengancam kesejahteraan masyarakat Aceh, Ini terlihat dari tingkat pengangguran yang meningkat 0,98% dibandingkan akhir tahun 2014 lalu, dan hingga saat ini tingkat pengangguran di Aceh mencapai 7,73%. Angka pengangguran 7,73 % atau sekitar 175 orang ini bukanlah nilai akhir, kemungkinan besar jika Pemerintah Aceh tidak cepat tanggab dalam menghadapi fenomena ini angka kemiskinan yang pada 2015 ini menjadi membludak. Kondisi ekonomi Aceh yang tengah anjlok ini seharusnya tidak terjadi, karena dengan kekayaan sumber daya manusia maupun alamnya, Aceh memiliki potensi yang cukup besar dalam mengembangkan perekonomiannya. Hanya saja masalahnya adalah, Pemerintah serta Aceh belum mampu berfikir kreatif dalam mengelola anggarannya untuk mengembangkan ekonomi kreatif dimana di zaman globalisasi ini menjadi kunci dalam persaingan ekonomi global.

Ketidakkreatifan Pemerintah aceh dalam mengelola anggarannya terlihat dari melimpahnya dana Otsus sekitar Rp 41,23 triliun yang diterima Aceh sejak tahun 2008 hingga 2015 yang selalu meningkat sekitar rata-rata 8,82% di setiap tahunnya. Melimpahnya dana otsus tersebut belum memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan ekonomi Aceh yang hanya tumbuh sekitar dibawah 6,0% selama delapan tahun terakhir. Selain itu, mainset kebanyakan masyarakat Aceh yang belum terbiasa pada orientasi bisnis ataupun membuka usaha sendiri, dan menjadi aparatur negara masih menjadi tujuan utama sehabis pendidikan. Sehingga penyerapan APBA hanya dihabiskan sebagian besar untuk belanja rutin saja tidak pada belanja publik yang sebenarnya lebih bermanfaat bagi masyarakat umum.


Rekomendasi Untuk Pemerintah Aceh:
Berbagai permasalahan pelik ini pun tentulah harus dihadapi secara dewasa maupun dengan kepala dingin, beberapa rekomendasi penulis sampaikan kepada Pemerintah Aceh dalam menangani beberapa masalah diatas . Pertama, pemberontakan jangan dilawan dengan perburuan yang hanya akan menambah jumlah pemberontak yang ada saat ini. Ada kalanya pemerintah mengajak duduk bersama serta berdikusi dengan mereka para pemberontak untuk mencari solusi terbaik dalam menangani tuntutan yang diingini. Aceh sudah cukup dengan pertumpahan darah jangan ada lagi konflik yang merenggut jiwa, sikapi segalanya dengan nilai persaudaraan nan damai.
Kedua, korupsi pada hakikatnya hanya bisa dilawan dengan kuatnya komitmen yang dijalankan secara konsisten dari penegak hukum di Aceh, untuk memberantas korupsi  yang tengah membudaya di kalangan elit pemerintahan. Kalau ini tidak bisa berjalan, maka anggaran yang melimpahi Aceh saat ini hingga beberapa tahun ke depan sama sekali tidak  akan berimbas pada kesejahteraan rakyat. Selain itu mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam  memerangi korupsi dengan melaporkan seluruh kejahatan korupsi yang terjadi di sekitarnya, karena korupsi bagian dari kejahatan Hak Asasi Manusia yang luar biasa. Hal ini merupakan cara paling efektif untuk ,menutup celah kepada oknum-oknum tertentu melakukan korupsi.
Ketiga, Pemerintah Aceh dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi harus berfikir kreatif dalam mengembangkan perekonomian Aceh yang tengah terpuruk saat ini. Pemerintah harus pintar dalam mengelola limpahan APBA kedalam kegiatan ekonomi yang lebih produktif dan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Salah satunya adalah dengan mengembangkan industri sektor  pertanian, perikanan atau kelautan, perkebunan dan migas yang menjadi keunggulan Aceh. Pemerintah Aceh juga harus pandai dalam mengundang investor asing untuk masuk ke Aceh, untuk itu tingkat keamanan serta pembangunan seperti infrastruktur terutama jalan-jalan sebagai sarana transportasi pelabuhan, pasar tradisional, dan sarana publik lainnya sangat mendukung dalam meyakinkan investor asing untuk investasi ke Aceh, jika ini berhasil maka peluang kerja bagi masyarakat Aceh akan terbuka lebar .Selain itu, pemerintah Aceh harus berusaha menyadarkan masyarakat kita agar memiliki keinginan membuat usaha bisnis yang mampu menyerap tenaga kerja, hal ini guna mengurangi tingkat pengangguran, untuk itu perlu adanya kebijakan pemberian kredit atau pembiayaan untuk usaha mikro dengan skala bunga yang rendah.
Kesemua permasalahan Aceh saat ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera terselesaiakan oleh Pemerintah Aceh, tergantung bagaimana keinginan serta kesungguhan  Pemerintah Aceh dalam menyelesaikannya, sebagai masyarakat Aceh kita tentu berharab berbagai permaslahan di Aceh dapat segera dituntaskan, demi tercapainya kedamaiaan serta masyarakat Aceh yang sejahtera.


Penulis: Tajul Ula, S.E
Alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah dan Siswa Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) Angkatan 5

1 comments:

  1. Kami adalah perusahaan yang terdaftar, meminjamkan uang kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan mendesak, dan mereka yang telah ditolak kredit dari sana bank karena skor rendah kredit, pinjaman bisnis, pinjaman Pendidikan, mobil pinjaman, kredit rumah, kredit perusahaan (dll), atau untuk membayar utang buruk atau tagihan, atau yang telah scammed oleh pemberi pinjaman sebelum uang palsu? Selamat, Anda berada di tempat yang tepat, dapat diandalkan Pinjaman Perusahaan Ibu Kelly untuk memberikan pinjaman dengan tingkat bunga yang sangat rendah dari 2% telah datang untuk mengakhiri semua masalah keuangan Anda sekali dan untuk semua, untuk informasi lebih lanjut dan pertanyaan hubungi kami melalui email perusahaan kami: kellywoodloanfirm@gmail.com
    Terima kasih
    Terima kasih dan Tuhan memberkati
    Ibu kelly

    ReplyDelete